Rabu, 27 Desember 2017

Refleksi 5 Perkuliahan Filsafat Bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A.

     SEBAB AKIBAT FILSAFAT   
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Kamis, 19 Oktober 2017, 07.30-09.10 WIB

Oleh:
Elsa Susanti (17709251024)
                                                         Pascasarjana Pendidikan Matematika B 2017

Sadar atau tidak sadar, kita selalu mengalami hukum sebab akibat. Bila dipandang dengan kacamata filsafat maka sebab adalah pondamen. Artinya sebab menjadi dasar seseorang untuk mengada melalui kegiatan berpikir dan bergerak. Maka akibatnya adalah pengada. Tiadalah akibat tanpa sebab dan tiada pulalah pengada tanpa mengada.
Seyogyanya, sebab dari sebab belum tentu sebab. Sebab dari akibat itu belum tentu sebab maka sebab dari sebab dari sebab belum tentu sebab dan sebab dari akibat akibat belum tentu pula sebab. Begitu pula sebaliknya, akibat dari akibat itu belum tentu akibat. Akibat dari sebab belum tentu akibat maka akibat dari sebab belum tentu akibat dan Akibat dari sebab sebab belum tentu pula akibat. Dengan demikian, sebenar-benar sebab akibat dan akibat sebab adalah tesis.
Semua yang ada dan yang mungkin ada adalah sebuah potensi. Maka segala sebab terlahir dari potensi dan segala akibat berasal dari mengada. Sebab menimbulkan akibat tidak lain dan tidak bukan adalah karena manusia berfikir. Sedangkan sebab yang tak berakibat adalah karena tidak mengada. Oleh karena itu sebab dan akibat menuju infinitigres. Artinya sebab dan akibat akan terus berlanjut selagi manusia ada dan melakukan mengada. Maka sebenar-benar sebabku, sebabmu, dan akibatku dan akibatmu adalah subyektif.  
Sebab yang ada dan yang mungkin ada tidak terhitung jumlahnya. Dan sebenar-benar sebab absolut adalah sebab prima yaitu kuasa Tuhan. Saat kita menyebutkan ‘Ini sebab’ maka artinya sebab tersebut adalah sebab terpilih dari sekian banyak sebab yang lain. Jika saat satu sebab terpilih maka sebab yang lain berada di epoke. Epoke adalah komponen metode fenomenologi. Sadar atau tidak sadar manusia selalu menggunakan epoke namun hanya orang yang belajar filsafat yang menyadarinya. Dengan adanya epoke itulah manusia bisa memilih dengan konsentrasi. Epoke bak gudang penyimpanan yang kita abaikan. Maka epoke itu adalah fenomenologi. Inti dari fenomenologi itu ada dua yaitu abstraksi dan idealisasi. Abstraksi itu memilih. Jadi dalam hidup pasti kita melakukan yang namanya memilih, itulah kita mengabstraksi, dan yang lain yang tidak kita pilih kita masukkan ke dalam epoke. Jangankan manusia, hewan dan tumbuhan pun bisa berepoke. Dalam tumbuhan, misalnya tumbuhan kalau tumbuh biasanya mengikuti arah sinar matahari, ini salah satu pilihan tumbuhan, dan arah lain dimasukkan ke dalam epoke.
Sekian banyak sebab di dalam epoke adalah bukti keterbatasan manusia. Dan sebenar-benar langkah dalam mengetahui batas kemampuan kita adalah dengan berhemenetika karena sebenar benar hidup adalah hermenetika. Bentuk hermenetika adalah membangun pergaulan dengan sesama manusia. Maka hermenetika adalah filsafat jika diturunkan jadi interaksi dan jika dinaikkan jadi silaturahim. Sebenar-benar manusia yang tinggi derajatnya adalah mereka yang mampu berhemenetika sesuai dengan ruang dan waktu yang tepat. Dengan demikian, orang yang tidak bisa menyesuaikan ruang dan waktu merupakan orang yang tidak bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar