Rabu, 03 Januari 2018

Memaknai Estetika Wayang



           Memaknai Estetika Wayang
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Oleh:
Elsa Susanti (17709251024)
                                                         Pascasarjana Pendidikan Matematika B 2017


Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja (sumber Wikipedia).
Sebagai jati diri bangsa Indonesia, wayang harus dilestarikan. Sebelumnya, saya belum pernah menonton wayang. Namun, saat ini saya sedang menempuh studi di Kota Pelajar, Yogyakarta. Alhamdulillah saya telah berkesempatan menonton pertunjukan wayang di Museum Sonobudoyo Yogyakarta pada November 2017. Selain berbijak pada pepatah ‘Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’, dorongan menonton wayang juga lahir dari dosen matakuliah Filsafat. Tentunya banyak hal yang bisa dipandang dalam wayang dengan kacamata filsafat.
(Foto saat menonton pertunjukan wayang)
Pertunjukan wayang  mengambil lakon kisah Ramayana yang terdiri dari menjadi 8 episode, sebagai berikut.
  • Episode 1 : The Abduction Of Shinta
  • Episode 2 : Hanoman’s Mission
  • Episode 3 : Rama’s Dam
  • Episode 4 : Anggada’s Mission
  • Episode 5 : The Death of Prahasta
  • Episode 6: Trigangga Looking For His Father
  • Episode 7 :The Death of Kumbakarna
  • Episode 8 : The Death of Rahwana

Pada malam itu, sedang berada pada episode 5, yaitu menceritakan Kematian Prahasta. Memang agak sulit bagi saya memahami jalan ceritanya karena saya belum paham bahasa Jawa. Namun dengan adanya synopsis dan bantuan teman-teman asli Jawa membuat saya sangat terbantu.
Filsafat terdiri atas ontology, epistemology, dan aksiologi. Dalam sudut pandang filsafat, pagelaran wayang mengandung aksiologi. Aksiologi berisi etik (benar dan salah) dan estetika (keindahan). Wayang memiliki nilai etik, memberikan sebuah cerminan kehidupan manusia secara konkret. Pada hakikatnya, wayang dapat memberikan gambaran lakon perihal kehidupan manusia dengan berbagai problematikanya, wayang sebagai etalase nilai dengan makna dan simboliknya yang dapat dijadikan sumber   ajaran kehidupan. Pergelaran wayang juga merupakan proses instropeksi intuitif terhadap simbol-simbol yang digelar di dalam pagelaran tersebut. Wayang dijadikan sebagai tontotan masyarakat yang terkandung nilai-nilai leluhur yang sangat kental di dalamnya. Dengan demikian, pagelaran wayang secara realitas dan simbolik tampil sebagai sebuah tontonan, tuntunan, dan tatanan yang dapat menghibur serta menyampaikan ajaran sebagai referensi kehidupan pribadi, maupun dalam bermasyarakat dan bernegara.
Semua nilai-nilai etik tadi dikemas dalam keindahan seni dari pagelaran wayang, yang kita kenal dengan estetika. Karena tidak hanya etik, wayang juga berkaitan erat dengan nilai estetika di dalamnya. Melalui keindahan yang terpancarkan melalui aura gemerlap dalam sajian pagelaran wayang, menjadi daya tarik yang kuat, sehingga menjadi kesenangan maupun keindahan tersendiri bagi para penikmatnya, tidak hanya masyarakat lokal namun juga masyarakat non-lokal. Sebagaimana arti wayang adalah bayangan. Saya melihat dari depan dan belakang, keduanya memiliki sisi estetika masing-masing. Dengan kerjasama tim wayang daat terciptanya pertunjukan yang harmonis.

Refleksi 12 Perkuliahan Filsafat Bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A.


Mitos dalam Kekuasaan     -Refleksi 12


Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Kamis, 21 Desember 2017, 07.30-09.10 WIB

Oleh:
Elsa Susanti (17709251024)
                                                         Pascasarjana Pendidikan Matematika B 2017


Tidak jarang kita melihat dan mendengar perebutan tahta. Melalui tahta seseorang dapat berkuasa. Orang yang berkuasa sering membuat mitos untuk mempertahankan kekuasaannya. Seyogyanya, mitos adalah kepentingan. Namun seorang pemimpin membuat mitos hendaklah dengan maksud kebaikan, yaitu bagian dari usaha mengatur dan menciptkan kedamaian. Oleh karena itu mitos tidak boleh berlebihan karena dengan berlebihan akan menimbulkan keriscuhan hati dan pikiran.
Kehidupan bersifat hirarki dan berstruktur. Seorang penguasa tidak dapat menjadi penguasa jika belum jadi rakyat maka sebenar-benar rakyat dan penguasa harus berhemenetika. Dengan hermenetika penguasa dan rakyat dapat menyatu dalam mencapai visi misi. Seorang pemimpin berusaha mencapai perubahan yang lebih baik. Oleh karena itu, pemimpin mengajak rakyat untuk menyatukan antara kata dan perbuatan. Secara filsafat kata dan perbuatan tidak dapat disatukan namun di sini maksudnya adalah sebagai usaha dalam kebaikan. Menyatukan kata dan perbuatan adalah bagian dari metafisik, artinya berpikir sesuai ruang dan waktunya serta peruntukkannya. Semua makna melekat pada konteksnya. Oleh karena pemimpin yang sebenar-benar haruslah mereka yang cerdas sehingga dapat menyelaraskan kebijakannya sesuai ruang dan waktunya yang tepat. Dengan demikian, seorang pemimpin hendaklah selalu melakukan refleksi diri agar tidak melakukan mitos atas dasar kepentingan kekuasaan.




Elsa Susanti | Youtube : http://www.youtube.com/c/ElsaSusanti | 


Refleksi 11 Perkuliahan Filsafat Bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A.


Meluruskan Paradigma Pendidikan     -Refleksi 11

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Kamis, 14 Desember 2017, 07.30-09.10 WIB

Oleh:
Elsa Susanti (17709251024)
                                                         Pascasarjana Pendidikan Matematika B 2017

Menunggalnya wadah dan isi haruslah tercipta dalam segala aspek kehidupan kita, salah satunya dalam bidang pendidikan. Menunggalnya wadah dan isi adalah untuk mencapai visi dan misi dan meluruskan paradigma. Paradigma merupakan atmosfir yang berlaku dimana-mana . Paradigma dalam bidang pendidikan artiya melakukan transformasi melalui inovasi. Paradigma pendidikan adalah the teacher is researcher,  the student is researcher, the directur is researcher. Sebenar-benar hidup adalah penelitian untuk menghasilkan. Keberadaan guru dibuktikan dengan kegiatan mengada dan pengada. Paradigma daripada pengada antara lain adalah the teacher buy the teacher yaitu produk berupa jurnal.
Tak hanya pendidik, tapi subyek didikpun juga harus menjalankan paradigma pendidikan. Kuliah adalah bagian research, melalui bahan bacaan perkuliahan dapat dikembangkan menjadi research. Untuk mendapatkan data empiris dapat melalui riset kecil baik lewat angket, observasi, maupun wawancara. Hasil dari riset dituliskan dalam bentuk jurnal artikel riset. Dalam mendukung publikasi, mahasiswa dapat menghasilkan karya yang berkualitas salah satunya melalui kerjasama dengan dosen. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan pemahaman, mahasiswa dapat mempelajari web of research, web of publisher, web of book, web of teaching, web of learning process dan seterusnya.
Ada dua strategi yang dapat dijalankan untuk mendukung publikasi mahasiswa, yaitu universitas menyelenggarakan seminar internasional atau mahasiswa menyerbu seminar internasional di tempat lain. Dalam perkembangan IPTEK, mahasiswa dituntut gencar mempersiapkan diri. Oleh karena itu, mahasiswa harus rajin terlibat dalam diskusi ilmiah seperti seminar dan symposium. Ini adalah bentuk usaha kesiapan mahasiswa dalam menghadapi perubahan.
Dalam menulis artikel ilmiah, kita harus memperhatikan dua syarat  yaitu keterbacaan dan plagiat. Bahasa yang digunakan haruslah diperhatikan secara tata bahasa dan aturan kepenulisan sehingga memenuhi aspek keterbacaan. Di samping itu, hal yang perlu diperhatikan adalah referensi. Referensi erat kaitannya dengan plagiat.  Yang paling mengetahui kita plagiat atau tidak adalah diri kita sendiri. Dengan demikian, paradigma pendidikan adalah the teacher is researcher and the student is researcher.




Elsa Susanti | Youtube : http://www.youtube.com/c/ElsaSusanti | 


 

Refleksi 10 Perkuliahan Filsafat Bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A.



Memaknai Critique of Pure  Reason         -Refleksi 10
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Kamis, 7 Desember 2017, 07.30-09.10 WIB

Oleh:
Elsa Susanti (17709251024)
                                                         Pascasarjana Pendidikan Matematika B 2017


Belajar filsafat adalah belajar tentang pemikiran para filsuf. Salah satu sumber belajar filsafat adalah buku dengan judul “Critique of Pure Reason” yang berisikan pemikiran Immanuel Kant. Secara bahasa, Immanuel artinya gereja, namun buku ini tidak ada kaitannya dengan agama melainkan terkait filsafat berfikir, yaitu epistemologi. Sebenar-benar filsafat ilmu adalah epistemologi. Filsafat ilmu tidak dapat berdiri tanpa ontologi dan aksiologi. Jadi ontologi, epistemologi, dan aksiologi adalah tiga serangkai yang membangun filsafat. Hubungan ketiganya adalah ibarat makanan dan bernapas. Tiadalah arti makanan jika kita tidak bernapas dan tiada pulalah arti napas jika kita tidak bisa makan.
Berikut  pembahasan buku Immanuel Kant: Critique of Pure Reason
Maksud dari berpikir itu selalu ingin diketahui. Orang ingin mengetahui sebenarnya apa maksud dari berpikir tapi sangat sulit untuk dijawab bahkan sebetulnya tidak dapat dijawab secara tuntas.
Berpikir merupakan suatu prinsip. Prinsip dilahirkan dari pengalaman yang dialami oleh manusia. Prinsip yang ada dalam pikiran bersifat logis karena pikiran manusia juga bersifat logis. Maka syarat perlu dan syarat cukup untuk benar adalah logis dan logika manusia harus cocok dengan pengalaman. Jadi Immanuel Kant memiliki pandangan bahwa ilmu bukan logika semata melainkan juga meliputi pengalaman. Dengan demikian, logika dalam pikiran itu harus sesuai dengan pengalaman.
Prinsipnya berpikir baik yang berasal dari logika maupun dari pengalaman tidak ada akhirnya dan ketiadaan akhir dari pikiran itulah disebut metafisik. Metafisik merupakan ketiadaan akhir dari pikiran. Misalnya dibalik A ada B, dibalik B ada C, demikian seterusnya tidak pernah selesai. Pikiran tidak pernah berhenti karena pikiran merupakan prinsip/aturan. Pikiran manusia menembus ruang dan waktu. Dengan demikian, separuh dari pikiran adalah pengalaman.
Pikiran merupakan aturan yang mengatur semua kehidupan. Administrasi juga aturan, tatacara yang bersifat dogma. Dogma artinya pendapat seseorang tentang pikiran di masa dahulu. Saat ini, menghilangkan dogma untuk memperoleh pikiran baru seperti kaum barbar menembus masyarakat berperang dalam rangka mempoleh penjelasan konsep mengenai apa hakikat berpikir. Hal ini mengakibatkan kerajaan dogma yang dipikirkan sebelumnya hancur berantakan. Jadi, jika kamu punya pendapat lama dan bertahan maka itu namanya empire. Belajar filsafat adalah meruntuhkan kerajaan tersebut agar kamu dapat menyesuaikan dengan keadaan sekarang. Misalnya, seseorang tidak mau menggunakan hp karena mempertahankan tradisional. Itu merupakan kerajaan daripada bendamu sehingga muncullah skeptis. Kerajaan yang otoriter membuat skeptis jadi ragu-ragu. Jadi, janganlah engkau ragu-ragu di dalam hati, tapi ragukanlah di dalam pikiran karena sebenar-benar ragu dalam pikiran adalah ilmu.
Tidak ada perubahan terhadap pemikiran sama artinya mendirikan kerajaan mitos. Melalui filsafat pemikiran menjadi berantakan supaya konsepnya dapat ditinjau ulang.  Berantakannya pikiran adalah dalam maksud menetralisirkan pendapat. Itulah pentingnya filsafat. Jika engkau ingin bertemu Tuhan maka jangan hanya dipikirkan. Kerjakan sekarang, jika Tuhan ridho maka artinya engkau ketemu tuhan.
Pikiran yang dinamik dan selalu mencari ilmu baru digambarkan sebagai suku barbar yang pergi kemana-mana. Masyarakat yang menjelajah kemana-mana lebih bagus daripada hanya penduduk yang bertempat tinggal. Ini hanyalah perumpaan dan inilah sebenar-benar bahasa analog. Kuatnya pendirian yang tidak mau berubah diibaratkan sebagai bertempat tinggal di suatu daerah sehingga muncul pemikiran bahwa rumah bersifat relatif.
Orang nomaden membenci orang yang bertinggal tinggal secara tetap. Masyarakat dengan pikiran-pikiran relatif disebut states kuo. Sedangkan orang nomaden bersifat kreatif dan inovatif yang referensinya mengalir dari pikiran sehingga tidak kaget dengan adanya destruktif. Orang yang deskruktif membayangkan sebagai penduduk yang tinggal pada satu daerah tertentu. Masyarakatnya menjadi states kuo. Sebenar-benar hidup adalah herrmenetika antara states kuo dengan reformasi. Jika sudah berhermenetika maka sebenar-benar hidup adalah berpikir, tidak terperangkap dalam mitos, tidak berhenti. Dalam filsafat, sebenar-benar bodoh adalah berhenti dari ikhtiar dan sebenar-benar cerdas adalah berusaha.
Sebenar-benar dunia adalah yang tetap dan berubah. Segala hal yang tetap adalah prinsip dan yang berubah adalah isinya. Sebenar-benar prinsip adalah wadah. Wadah dan isi obsolut adalah Tuhan sedangkan manusia tidak dapat obsolut tetapi hanya menggapainya. Dengan demikian, persoalan apapun yang kita hadapai harus dihermenetikakan.


--Janganlah ragu-ragu di dalam hati, tapi ragukanlah di dalam pikiran karena sebenar-benar ragu dalam pikiran adalah ilmu.



Elsa Susanti | Youtube : http://www.youtube.com/c/ElsaSusanti |